Sebuah kamera dan camilan. Hanya itu. Bahkan air minum pun tidak ia bawa. Pemuda itu tertatih-tatih diantara jurang-jurang yang menganga, berlindung di bawah seribu pohon cemara.
Bermodal ego dan ketidaktahuan ia jalani. Bulan Desember ia mendaki seorang diri.
Hembusan angin semakin kencang menerjang tubuhnya, kala jaketnya tak kuat lagi menahan air.
Langkah demi langkah ia jalani untuk sampai di puncak, seketika jalan menjadi aliran sungai. Petir menyambar-nyambar, membuatnya menunduk dan melambatkan langkahnya.
Seketika ia berpikir, "Seperti inikah rasanya mendaki gunung? Atau memang hanya aku yang sedang tertimpa sial?".
Tangannya mulai kaku, nafasnya mulai terengah-engah, tubuhnya mulai menggigil.
Semua itu tak membuat pemuda itu menyerah. Ia langkahkan kakinya hingga sampai di suatu padang luas.
"Aku pikir, mendaki gunung itu sama seperti ketika liburan ke Gunung Tangkuban Perahu", pikir pemuda itu.
Pikirannya mulai kacau, tak tau harus kembali atau melanjutkan naik.
Tak ada lagi yang ia bayangkan dalam kepalanya selain senyum ibunya yang sedang rindu.
Tubuhnya tiba-tiba menjadi hangat, jari jemarinya tak lagi merasakan dingin.
Belum sampai ia melangkahkan kaki, pemuda itu terjatuh, entah kenapa.
Berdiam diri diterjang badai. Angin. Hujan. Kabut. Petir. Hanya mereka yang menemani.
Samar-samar ia melihat seseorang, berlari menghampiri dengan baju orangenya, mengangkat pemuda itu dan membawanya turun.
Sudah terlalu jauh ia melangkah.
Pemuda itu mulai muntah, dan tak sadarkan diri.
Perlahan hilang dan pergi begitu saja.
Kini namanya tertuliskan pada suatu batu di sebuah padang sabana, Gunung Lawu.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar